Rabu, 15 Februari 2017

Manchester City Siap Pecahkan Rekor Transfer Pemain Demi Dele Alli

Manchester City diberitakan siap memecahkan rekor dunia transfer pemain untuk memboyong Dele Alli dari Tottenham Hotspur. Anggota Timnas Inggris itu sebelumnya sudah menjadi incaran klub kaya Eropa Real Madrid serta Paris Saint-Germain dan kini The Citizens ikut menjadi peminat gelandang yang baru berumur 20 tahun itu.

Seperti diberitakan Express, Sabtu (11/2), nilai transfer Alli diyakini bakal melampaui biaya transfer yang dikeluarkan Manchester United saat memboyong Paul Pogba dari Juventus. Pada awal musim 2016/17, Pogba ditarik Setan Merah dengan nilai transfer £89 juta yang menjadikannya sebagai pemain termahal saat ini.

Pelatih Manchester City Josep Guardiola bakal merombak susunan skuatnya pada akhir musim nanti dan menarik pemain asli Inggris menjadi hal yang diprioritaskannya. Pemilik The Citizens telah memberikan restu untuk transfer Alli yang bakal menjadi tulang punggung di Ettihad di masa depan.

Meski begitu The Citizens bakal menghadapi persaingan sengit dari Madrid serta PSG untuk mendapatkan Alli. Apalagi umur Alli yang masih muda dan memiliki karier cerah dalam waktu yang relatif lama sehingga Madrid dan PSG siap mengeluarkan dana untuk menyangi Manchester City guna mendapatkan Alli.

David De Gea Calon Paling Pantas Jadi Kiper Masa Depan Juventus

Juventus mulai sibuk mencari kiper baru untuk menjadi penerus Gianluigi Buffon. Usia Buffon yang hampir mendekati 40 tahun membuat Juventus merasa perlu menyiapkan sosok yang tepat untuk jadi kiper masa depan mereka.

Buffon diperkirakan masih akan bermain sampai tahun 2018 ketika genap berusia 40 tahun. Namun demikian Juventus ingin pengganti Buffon bergabung tahun ini agar bisa menimba ilmu langsung dari pemain nasional Italia itu.

Awalnya, Juventus menginginkan kiper belia AC Milan Gianluigi Donnarumma. Pemain 17 tahun itu dinilai cocok menjadi pengganti Buffon karena sama-sama berasal dari Italia.

Namun cukup berat bagi Juventus membajak Donnarumma dari Milan. Pasalnya Donnarumma memiliki agen Mino Raiola yang selama ini dikenal mata duitan. Raiola menginginkan Donnarumma mendapat gaji 10 juta euro per musim.

Melihat cukup sulit mendapatkan Donnarumma, Juve menyiapkan alternatif. The Sun melaporkan kiper Manchester United David De Gea kini masuk dalam radar Juventus untuk menggantikan Buffon.

De Gea akan coba dibeli Juve bila gagal mendapatkan Donnarumma. Butuh dana di atas 50 juta euro bila Juventus ingin memiliki De Gea. I Bianconeri harus bersaing dengan Juventus yang juga naksir pada De Gea.

Real Madrid Tidak Mau Bernabeu Dijadikan Tempat Final Copa del Rey

Barcelona dan Alaves akan bertarung di babak final Copa del Rey. Kandang Real Madrid, Santiago Bernabeu, digadang-gadang bakal menjadi venue laga final, namun Los Blancos menolaknya.


Partai final Copa del Rey memang selalu diselenggarakan di tempat netral. Otoritas sepak bola Spanyol biasanya mencari stadion yang berkapasitas besar untuk menampung suporter dari dua kesebelasan. Stadion-stadion di Madrid kerap menjadi kandidat karena memenuhi persyaratan.

Namun kali ini, Madrid kembali menolak untuk menjadikan Santiago Bernabeu tempat final Copa del Rey. Presiden Madrid, Florentino Perez, beralasan Bernabeu tengah direnovasi. Sehingga, tidak bisa digunakan untuk menggelar laga final yang akan diikuti oleh rival utama Madrid tersebut.

Ini bukan kali pertama Madrid menolak menggelar partai final Copa del Rey. Musim lalu, saat Barca juga menjadi final, Madrid juga menolak menjadi tuan rumah final. Saat itu, Madrid menyebut Bernabeu akan digunakan untuk konser musik.

“Laga final tak bisa di mainkan di [Stadion Santiago) Bernabeu karena ada pekerjaan konstruksi,” tutur Perez seperti dikutip dari Marca, Jumat (10/2/2017).

Final Copa del Rey sendiri akan dilangsungkan pada 27 Mei 2017 mendatang. Barca melenggang ke final setelah menyingkirkan Atletico Madrid. Sementara Alaves berhasil menumbangkan Celta Vigo.

Selasa, 14 Februari 2017

Deretan Striker Terburuk yang Pernah Ada Dalam Sejarah Barcelona

Barcelona terkenal degan sepakbola menyerangnya, tetapi tidak semua striker yang direkrut raksasa Catalan ini sukses, bahkan beberapa di antaranya bisa dibilang gagal. Mereka didatangkan dengan harga yang mahal, tetapi hasilnya jauh dari harapan.

Ronaldo Nazario, Samuel Eto’o dan Luis Suarez nama-nama striker yang dibeli Barcelona dengan harga tinggi dan hasilnya luar biasa, tetapi tidak sedikit juga yang gagal, berikut lima striker mereka yang gagal.

5. Javier Saviola

Saviola datang ke Barcelona pada tahun 2001 dari klub Argentina, River Plate dengan reputasi yang sedang berkembang, dia diprediksi menjadi salah satu striker terbaik di planet ini, bahkan dia disebut-sebut sebagai penerus Diego Maradona.

Walau dia pemain yang terlihat luar biasa dia gagal memenuhi harapan tinggi di Barcelona. Dia mencetak 21, 20 dan 19 gol dalam 3 musim pertamanya di Barcelona sebelum akhirnya dipinjamkan ke Monaco dan Sevilla dan akhirnya kembali.

Dia kemudian diizinkan untuk angkat kaki dari Camp Nou bergabung ke Real Madrid. Saviola berhasil mencetak 49 gol dari 123 pertandingan liga, cukup bagus memang, tetapi harapan jauh dari itu.

4. Maxi Lopez

Satu lagi pemain muda yang dianggap sangat apik lulusan akademi River Plate sebelum pindah ke Barcelona. Setelah melakukan debut di usia 17 tahun dia mencetak 17 gol untuk klub Argentina tersebut sebelum akhirnya pindah ke Barcelona pada bulan Januari 2005 dengan harga 6,2 juta Euro.

Waktunya di Camp Nou tak jauh dari mimpi buruk. Pemain Argentina ini gagal masuk ke tim utama selama dua musim di Barca, total hanya dia tampil 19 kali dan hanya mencetak dua gol.

Lopez kemudian diizinkan pergi ke Mallorca sebelum akhirnya dijual ke FC Moscow. Kariernya sejak saat itu semakin suram dia pindah-pindah dari Gremio, Catania, Milan, Sampdoria dan Chievo. Sekarang usianya 35 tahun dan bermain untuk Torino.

3. Alfonso Perez

Alfonso Perez, lulusan akademi muda Real Madrid, dia harus meninggalkan ibu kota Spanyol karena gagal meyakinkan di Santiago Bernabeu.

Dalam waktu beberapa tahun dia berhasil bangkit bersama Real Betis. Walau tidak terlalu mencolok Barcelona mendatangkannya dengan harga 16,5 juta Euro setelah Luis Figo pindah ke Real Madrid.

Perez gagal menunjukkan kualitasnya di Camp Nou. Musimnya di Catalan adalah bencana dia hanya mencetak dua gol dalam 21 pertandingan selama dua tahun di Barcelona setelah mencetak 57 gol di 152 penampilannya untuk Real Betis.

2. Santiago Ezquerro

Ezquerro adalah striker veteran di La Liga ketika ia bergabung dengan Barcelona pada tahun 2005. Dia sudah bermain untuk Osasuna, Atletico Madrid dan Mallorca dia bekerja 7 tahun dengan Athletic Bilbao yang akhirnya menarik perhatian Catalans.

Pada saat itu dia 28 tahun, Ezquerro beruntung dipanggil Barca, tetapi dia tidak beruntung karena datang di waktu yang sama dengan kemunculan Lionel Messi. Dengan demikian dia tidak pernah berhasil membangun dirinya di tim utama.

Musim terbaiknya dia hanya tampil 12 pertandingan di tahun pertama – musim di mana dia berhasil mencetak dua gol dari 469 laga.

Setelah mengalami waktu yang menyedihkan di Barcelona. Pada musim 2007/2008 dia sama sekali absen dari Barcelona karena permintaan free transfernya tidak dijamin Barcelona, akhirnya dia luntang-lantung. Pada akhirnya dia diizinkan pergi pada akhir musim untuk bergabung dengan Osasuna.

1. Jeffren Suarez

Suarez yang satu ini jauh dari Suarez saat ini. Jeffren Suarez pindah ke Spanyol saat usianya 15 tahun, bergabung dengan La Masia. Dalam tiga musim dengan Barcelona B dia harus merasakan degradasi selama satu musim, tetapi berhasil membantu tim untuk promosi tahun berikutnya.

Di akhirnya dipanggil Pep Guardiola pada tahun 2006 dan tampaknya dia akan memberikan dampak yang signifikan karena penampilannya cukup mengesankan di pra-musim. Tetapi, hasilnya sebaliknya.

Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Catalonia di bangku cadangan, hanya tampila 22 kali dalam waktu tiga tahun, hanya mencetak tiga gol, dia seperti pemain yang terburuk di tim yang bertabur bintang.

Dia akhirnya diberikan izin untuk pergi ke klub Portugal, Sporting  setelah bermain untuk Valladolid dan kemudian dia akhirnya bergabung dengan klub Belgia, Eupen.

Griezmann Bersedia Bergabung, Tapi Ini Syarat Yang Harus Dipenuhi MU

Keinginan Manchester United untuk mendapatkan Antoine Griezmann mendapatkan sebuah ujian yang cukup berat. Striker Atletico Madrid itu disebut baru bersedia pindah ke Old Trafford jika Setan Merah bisa bermain di Liga Champions musim depan.

Selama beberapa bulan terakhir, rumor kepergian Griezmann ke Manchester United bergulir dengan deras. Penyerang Atletico Madrid itu disebut-sebut menjadi target utama Setan Merah, di mana ia akan diproyeksikan menjadi penyerang utama Setan Merah untuk tahun-tahun yang akan datang.

Kubu Setan Merah sendiri juga dikabarkan sangat serius untuk mendatangkan Striker Timnas Prancis ini. Mereka disebut berani memecahkan rekor transfer sekali lagi untuk mendatangkan Griezmann pada musim panas nanti.

Menurut laporan yang dilansir The Sun, Griezmann dikabarkan tertarik untuk melanjutkan karirnya di Inggris. Namun ia sudah mengatakan kepada pihak MU jika ia hanya mau pindah ke Old Trafford jika kubu Setan Merah bisa bermain di Liga Champions musim depan.

Syarat ini bisa dikatakan cukup berat bagi Manchester United. Pasalnya anak asuh Jose Mourinho itu masih berada di peringkat ke enam klasemen sementara EPL.

Namun Setan Merah masih punya cukup banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan di klasemen. Selain itu mereka bisa mendapatkan tiket ke Liga Champions jika mereka memenangkan Liga Europa musim ini.

Formasi Skema 4-2-3-1 yang Jadi Andalan Terbaru Juventus

Kesuksesan Massimiliano Allegri di Juventus awalnya dianggap hanya karena mampu meneruskan formasi 3-5-2 yang diwariskan Antonio Conte. Conte, yang kini menukangi Chelsea, memang memberikan fondasi yang kuat bagi pertahanan maupun penyerangan Juventus dalam meraih scudetto.

Namun Allegri sendiri sebenarnya mengubah intensitas pressing Juventus kepada lawan menjadi kurang agresif. Gaya permainan mereka menjadi lebih sabar dan difokuskan untuk menjaga kepemilikan bola agar mendapatkan keuntungan secara teritorial di lapangan dan lebih menghemat energi. Skema ini cukup berhasil karena Juventus menjadi kesebelasan yang efektif memenangi bola di lini tengah dan rajin mencetak gol melalui serangan balik.

Di bawah Allegri, Juventus pun memiliki kecenderungan untuk memainkan bola dari lini belakang. Juventus terlihat lebih lambat karena mengawali serangan melalui umpan-umpan pendek. Terkadang juga diselingi umpan-umpan panjang dari Andrea Pirlo (sebelum pindah ke New York City FC) dan Leonardo Bonucci. Setelah Pirlo pergi, pemain tengah yang diplot menggantikan tugasnya adalah Claudio Marchisio. Gianluigi Buffon yang menjadi kiper utama pun berandil dalam membangun serangan dari belakang melalui umpan-umpan pendek kepada bek atau gelandangnya. Kemudian pemain yang menerima operannya itu memiliki tiga opsi untuk melanjutkan aliran bola, entah itu ke sisi lapangan, dilepaskan ke depan, atau dikembalikan kepada Buffon agar kembali membangun serangan.

Selain membuat kesebelasannya membangun serangan secara efektif, pujian kepada Allegri disebabkan keceredasan taktis dan fleksibilitasnya menggunakan formasi yang berbeda-beda. Perlahan ia menyelingi formasi 4-3-1-2 di antara formasi 3-5-2 warisan Conte selama satu musim pertamanya melatih Juventus. Musim selanjutnya ia mencoba menerapkan formasi 4-3-3, 4-4-2 flat maupun diamond. Nilai lebih Allegri lainnya yaitu mampu membuat para pemainnya tidak kaku dalam menjalankan strateginya. Seluruh pemainnya memungkinkan untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan dan menunjukan kreativitas di lapangan, walau di sisi lain ia memiliki gelandang serang di dalam skuatnya.

"Salah satu kualitas terbaik dari pelatih kami adalah kemampuannya untuk mendapatkan yang terbaik dari pemain-pemainnya. Bahkan ketika sistem berubah sekalipun," kata Giuseppe Marotta, CEO Juventus.

Walau menerapkan beberapa perubahan taktik, organisasi pertahanan Juventus tetaplah kuat. Allegri sendiri tipikal pelatih yang berpegang dengan hasil akhir pertandingan tidak peduli berapa pun jumlah gol di dalam kemenangannya. Untuk menunjang hasil akhir dengan kemenangan, Allegri tahu saatnya untuk mengubah formasi di lapangan agar mempertahankan keunggulan kesebelasannya. Ketika bertahan, Juventus mempertahankan kerendahan pertahanannya dengan formasi 5-4-1. Formasi itu bisa berubah menjadi 4-4-2 ketika melancarkan pressing dalam skema middle block.

Garis pertahanan mereka yang ketat itu cocok untuk menghadapi lawan berfilosofi ball-possession. Juventus memilih fokus memutus aliran-aliran bola lawan dan mengadopsi serangan balik. Setelah memenangkan bola di lapangan tengah, formasi berubah menjadi 4-2-3-1 atau 4-3-3 untuk melancarkan serangan balik. Sementara formasi 3-5-2 diterapkan ketika memulai serangan di belakang dari situasi tendangan gawang. Dan dalam beberapa pertandingan terakhir ini, Allegri kembali melahirkan inovasi taktik terbarunya dalam formasi 4-2-3-1.

Memainkan Tiga Penyerang Sekaligus

Sebetulnya tidak ada yang aneh dengan formasi 4-2-3-1 yang baru-baru ini diandalkan Allegri sejak awal pertandingan. Toh memang Juventus sudah terbiasa menjalankan formasi itu di dalam skema serangan permainannya. Dan 4-2-3-1 juga digunakan Juventus sebagai varian serangan dari formasi 4-3-3 yang diterapkan Allegri sejak awal pertandingan.

Namun yang berbeda kali ini adalah peran Mario Mandzukic pada formasi 4-2-3-1 tersebut. Beberapa orang yang hanya mendengar Juventus menggunakan formasi 4-2-3-1 pasti akan mengira bahwa Mandzukic dipasang sebagai ujung tombak, tidak lepas dari posisi aslinya. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah di manakah Gonzalo Higuain ketika Mandzukic dimainkan dalam formasi 4-2-3-1?

Higuain diplot sebagai penyerang tengah pada skema ini. Dan secara mengejutkan Allegri dengan berani memasang Mandzukic sebagai pemain sayap kiri. Ini cukup langka mengingat pemain sayap biasanya diisi oleh pemain sayap yang memiliki kemampuan umpan silang dan kecepatan berlari atau menggiring bola yang mumpuni. Sementara Mandzukic merupakan penyerang jangkung yang lambat.

Semuanya berawal dari Juventus yang menggunakan formasi 4-3-3 sejak awal pertandingan melawan Torino pada 11 Desember 2016. Saat itu Higuain dan Mandzukic dimainkans secara bersamaan, namun bukan untuk diduetkan seperti yang biasa dilakukan ketika menggunakan formasi 3-5-2 atau 4-3-1-2. Kedua penyerang itu justru dimainkan bersamaan dalam formasi 4-3-3 yang pada dasarnya hanya menggunakan satu penyerang tengah.

Sementara baik Higuain maupun Mandzukic merupakan penyerang bertipikal target man. Namun pada laga itu Mandzukic-lah yang harus mengalah sehingga dimainkan menjadi winger kiri pada formasi 4-3-3 kala itu. Dan Rupanya keputusan itu menghasilkan kepuasan tersendiri bagi Allegri. Higuain tetap mampu mencetak gol pada laga tersebut. Di sisi lain, satu dari dua gol yang dicetaknya merupakan assist dari Mandzukic. Pada posisi barunya itu juga ia tetap bisa mengancam gawang langsung karena melepaskan empat percobaan tembakan. Dan dua diantaranya berhasil mengarah ke gawang.

Di sisi lain, penampilan baik Mandzukic sebagai winger kiri itu memang membuat pertanyaan lain tentang nasib penyerang lainnya, yaitu Paulo Dybala. Tapi tidak perlu khawatir karena tipikal permainan Dybala berbeda dengan Higuain maupun Mandzukic. Dan tentu saja Allegri tidak ingin membuat penyerang muda dan bertalenta itu mubazir di bangku cadangan. Maka alternatif lain Allegri adalah tetap memainkan ketiga penyerangnya itu secara bersamaan.

Pilihannya adalah menggunakan formasi awal yang baru, yaitu skema 4-2-3-1 ketika menghadapi Sassuolo pada 29 Januari lalu.

"Saya tidak banyak berteori. Tapi sekarang dan selanjutnya, saya datang dengan ide gila dan mencobanya di lapangan. Selama satu minggu bahkan saya sendiri tidak berpikir tentang hal itu. Tetapi setelah sesi latihan keesokan harinya, saya berpikir bahwa saya harus mengubah sesuatu," ujarnya sebelum menghadapi Sassuolo.

Transformasi Mario Mandzukic dan Mobilitas Paulo Dybala

Pada formasi 4-2-3-1 itulah Allegri tidak membuat para penyerangnya bentrok. Higuain masih dijadikan ujung tombak andalan skuatnya. Namun Mandzukic kembali dimainkan sebagai wide target man di sisi kiri. Keputusan itu buah hasil dari adaptasi sebagai winger kiri dalam formasi 4-3-3 melawan Torino.

Namun ketika menghadapi Sassuolo, Mandzukic bermain lebih rendah dan lebar karena mendapatkan tugas tambahan untuk melindungi sisi lapangan ketika kesebelasannya kehilangan bola. Sebab ia sanggup untuk mengejar bola dari kaki lawan atas pengalamannya melakukan pressing selama memperkuat Atletico Madrid. Mandzukic pun saling mengisi dengan Alex Sandro di area sayap kiri baik ketika bertahan maupun menyerang.

Kemampuan Mandzukic dalam menahan bola pun berguna di posisi tersebut. Tekniknya itulah yang membantu Juventus mampu unggul terlebih dahulu atas Sassuolo. Mandzukic menahan bola agar memberikan waktu kepada Sandro untuk naik ke sepertiga akhir. Setelahnya, bola di kakinya diberikan kepada Sandro dan diumpan kepada Higuain sehingga menjadi gol.

Lalu bagaimana dengan Dybala? Ia diproyeksikan menjadi gelandang serang di belakang Higuain dan diapit Mandzukic di sebelah kiri serta Juan Cuadrado di sisi kanan. Dybala pun tidak canggung menjalani posisi itu karena ketika menjadi penyerang pun ia sering bergerak melebar dan turun ke tengah. Justru pada posisinya di 4-2-3-1 itu, Dybala lebih memiliki keleluasaan untuk menjelajahi lapangan tengah maupun sayap.

Di sisi lain, formasi 4-2-3-1 juga akan menjadi rotasi yang baik bagi lini tengah dan depan Juventus. Hal positif pertama yaitu memberikan kesempatan yang besar bagi Marco Pjaca agar lebih sering tampil. Apalagi Pjaca bisa menjadi opsi yang baik karena bisa bermain sebagai winger kiri maupun kanan. Dan jika Pjaca dan Cuadrado sama-sama bermain, artinya Juventus memiliki dua serangan sayap berkecepatan tinggi. Ketika pada waktunya Pjaca dimainkan secara reguler, Mandzukic akan menjadi pelapis yang sepadan untuk Higuain sebagai ujung tombak. Sementara kekosongan Dybala bisa diisi Pjanic. Di poros ganda sepeninggal Pjanic bisa digantikan Claudio Marchisio. Banyak pemain berkualitas yang bisa menggantikan satu posisi dengan posisi lainnya, begitu menyeramkan kedalaman skuat Juventus.

Keputusan pindah ke formasi 4-2-3-1 memberikan percikan dan dorongan kepada pola pikir serangan Juventus. Formasi itu juga digunakan ketika mengalahkan Lazio dan Internazionale Milan. Higuain pun terlihat jelas menikmati suplai-suplai bola pada formasi ini. Walau pada formasi tersebut Higuain harus menjadi pemantul bola bagi tiga gelandang serangnya.

Formasi 4-2-3-1 ini juga tampaknya disiapkan Juventus yang akan kembali berlaga di Liga Champions. Dalam beberapa musim terakhir, ada anggapan jika skema 3-5-2 Juventus di Liga Champions tak segarang ketika mereka berlaga di Serie A. Dengan formasi 4-2-3-1, sebagaimana kebanyakan kesebelasan Eropa menerapkan formasi dasar ini, Juventus tampaknya mencoba untuk mendapatkan peruntungan baru di Liga Champions, yang nyaris mereka raih pada 2015 lalu.

Marouane Fellaini Jadi 'Special One' Jose Mourinho

Marouane Fellaini banyak dikritik selama tiga musim di Manchester United, dan terus bertambah saat dia selalu dipercaya Jose Mourinho. Gelandang Belgia itu tetap menjadi pemain spesial, setelah melakukan blunder yang menyebabkan penalti saat lawan Everton.

Teriakan suporter Setan Merah jelas terdengar, untuk mencemooh pemain berambut kribo itu. Dilansir dari Mirror pada Sabtu 11 Februari 2017, Fellaini bisa membalikkan situasi dalam beberapa minggu. Dia bisa membuktikan dirinya dapat jadi bagian penting dari skuat Mourinho.

Fellaini mengungkap hubungan spesial dengan Mourinho, sudah terbentuk sejak awal Mourinho menangani MU pada musim panas. "Saya selalu memiliki hubungan baik dengan manajer. Tapi, dengan Jose saya memiliki hubungan yang hebat," ujar Fellaini.

"Saya menghormatinya, dia memberikan saya kepercayaan diri. Dia memanggil saya, mengirimkan pesan saat saya berlibur, untuk memberi saya kepercayaan diri, dan mengatakan dia mempercayai saya," katanya.

Perlakuan spesial seperti, itu disebut Fellaini akan membuat seorang pemain memberikan segalanya bagi manajer. Keyakinan pada kepercayaan yang diberikan Mourino, juga membantu Fellaini di awal musim, untuk cukup jujur mengangkat tangannya setelah melakukan kesalahan saat lawan Everton.

Mourinho berjanji akan selalu memberikan perlindungan, dan membuktikannya dengan tetap membawa Fellaini saat menghadapi Tottenham Hotspur. Suporter mencemoohnya, tapi yang dilihat Fellaini hanya dukungan dari sang manajer. "Itulah sepakbola. Ok, saya melakukan kesalahan," ucapnya.

"Saya yang pertama tahu melakukannya (kesalahan). Itu kesalahan, sudah, pertandingan berikutnya. Saya jujur dan tidak butuh orang lain mengatakannya pada saya. Saya melakukan banyak hal dalam hidup dan karier saya. Jadi, saya tidak perlu terus memikirkan satu kesalahan," kata Fellaini.

Dia mengatakan bakal selalu coba melakukan, apa yang diminta manajernya. "Saya akan coba melakukannya, dan coba melakukannya dengan baik. Jika manajer mengatakan sesuatu, ada alasannya jadi saya melakukannya. Saya seorang pemain tim," ucapnya.

"Saya tahu saya bukan pemain, yang bisa menggocek bola melewati lima pemain dan mencetak gol, saya tahu kualitas saya. Saya melakukan tugas saya, jika manajer senang itu hal terpenting, kemudian rekan setim saya," ujar Fellaini.