Menyebut Premier League sebagai liga terbaik di dunia rasanya agak janggal. Namun, menyebutnya sebagai liga yang sulit untuk ditebak lebih bisa diterima.
Perdebatan menyoal mana liga terbaik di dunia tidak akan ada habisnya. Saban kali Anda mengecek linimasa media sosial Anda, dan jika Anda memang penggemar bola fanatik, biasanya ada saja yang mengklaim bahwa satu liga lebih baik dari liga lainnya.
Menyebut bahwa Liga Spanyol (La Liga) sebagai yang terbaik di dunia barangkali terasa benar. Pasalnya, klub-klub Spanyol selalu bisa berbicara banyak di kompetisi antarklub Eropa. Simak bagaimana dalam tiga edisi empat terakhir —termasuk tahun 2017 ini— Spanyol selalu mengirimkan wakil. Jangan lupakan juga dominasi Sevilla di Liga Europa dengan menjadi juara tiga musim beruntun.
Namun, bagaimana mungkin Pep Guardiola, pelatih yang sukses besar di Liga Spanyol bersama Barcelona, bisa terseok-seok di Premier League? Bukankah ini menunjukkan bahwa kadar kesulitan Premier League lebih tinggi dari La Liga? Hmm, tidak begitu juga, sih…
Yang harus dipahami di sini adalah karakter tiap-tiap liga berbeda-beda. Inggris tentu saja berbeda dengan Spanyol. Dan karena perbedaan itulah dibutuhkan cara atau gaya main yang berbeda untuk menaklukkannya.
Guardiola paham itu. Beberapa bulan setelah merasakan persaingan di Premier League, ia melontarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya sudah lama diketahui oleh banyak orang: di Inggris, sebuah tim penting untuk memenangi second ball.
Musim ini, Premier League kian kosmopolitan. Selain kedatangan Guardiola ke Manchester City, ada juga Antonio Conte yang mulai menjabat sebagai manajer Chelsea. Keduanya menambah riuh rimba Premier League yang sudah memiliki Jose Mourinho di Manchester United, Juergen Klopp di Liverpool, dan Mauricio Pochettino di Tottenham Hotspur.
Jangan lupakan juga bahwa ini adalah musim pertama setelah Leicester City secara mengejutkan menjadi juara liga. Claudio Ranieri, sebagai manajer Leicester, semestinya layak diperhitungkan juga sampai kemudian dia kembali menjadi Tinkerman, mengotak-atik timnya sendiri, membuat pemainnya bingung, dan akhirnya didepak.
Baik Guardiola, Conte, Klopp, Mourinho, hingga Pochettino, punya perbedaan akan pemahaman terhadap permainan dan taktik. Semestinya ini juga membuat Premier League lebih kaya. Namun, kita tahu bahwa tidak semuanya sukses memberikan konsistensi.
Di antara lima nama di atas, Conte-lah yang akhirnya sukses. Sempat terseok-seok di awal musim, Conte akhirnya menemukan formula terbaik untuk timnya: formasi 3-4-3. Lewat pakem tersebut, Conte bisa memberikan konsistensi kepada The Blues. Rentetan 13 kemenangan beruntun pada periode Oktober-Desember 2016 adalah buktinya.
Kompetisi liga bukanlah lari sprint, melainkan lari maraton. Oleh karenanya, mereka yang menjadi pemenang adalah yang paling konsisten dan bisa mempertahankan performa sepanjang musim. Chelsea adalah tim itu.
Pada Sabtu (13/5/2017) dini hari WIB, mereka sukses mengunci gelar juara Premier League dengan dua laga tersisa. Kemenangan 1-0 atas West Bromwich Albion di The Hawthorns membuat mereka mengoleksi nilai 87, unggul 10 poin atas Tottenham yang masih memilih sisa tiga pertandingan. Kendati begitu, perolehan poin sudah tak mungkin dikejar Tottenham.
Conte adalah rajanya konsistensi. Ketika membawa Juventus menjurai Serie A pada 2011/2012, ia meraih 23 kemenangan dan 15 hasil imbang. Ya, musim itu Juventus tidak sekalipun menelan kekalahan di liga.
Conte juga sempat membawa Juventus ngebut di periode Maret-April 2012 dengan meraih delapan kemenangan beruntun. Sekali Conte sudah menemukan “klik” di dalam timnya, biasanya susah untuk menghentikannya.
Pertanyaannya sekarang: bisakah Conte mempertahankan gelar juara ini bersama Chelsea musim depan?
Ada hal menarik. Sejak terakhir kali Manchester United menjadi juara pada musim 2007/2008 dan 2008/2009, belum ada lagi tim yang bisa mempertahankan gelar juara di musim berikutnya. Berturut-turut sejak saat itu, Premier League dimenangi oleh Chelsea (2009/2010), United (2010/2011), Manchester City (2011/2012), United (2012/2013), City (2013/2014), Chelsea (2014/2015), Leicester (2015/2016), dan Chelsea (2016/2017).
Makin banyaknya manajer asing datang dan gelontoran uang dari hak siar membuat klub-klub papan tengah Premier League kini mampu membeli pemain yang lebih berkualitas. Imbasnya, persaingan pun menjadi lebih ketat. Bertanding melawan tim papan tengah kini bukan perkara mudah.
Maka, tentu saja, siapa yang akan menjadi juara musim depan adalah mereka yang bisa menjadikan kemenangan sebagai kebiasaan tiap pekannya. Bisa melakukannya lagi, Conte?
http://indolivescore.com/sulitnya-pertahankan-gelar-juara-premier-league-inggris/